20111018

SENJOYO,JOKO TINGKIR,DAN ROBERT PLANT


Senjoyo, Joko Tingkir, dan Robert Plant

"Saya dulu pernah berendam di Senjoyo. Waktu itu lagi musim
ilmu-ilmuan. Biar sakti, ha-ha-ha...!" seloroh aktor kelahiran
Salatiga, Roy Marten, tentang masa remaja di sendang Senjoyo. Roy
mengenang era 1960-an ketika kultur politik mengondisikan kaum muda
untuk memiliki kekuatan fisik. Orang menggembleng diri, melatih
kekuatan raga untuk menjadi gemblengan. Salah satu cara yang dipercaya
adalah dengan laku kungkum, berendam di Senjoyo. Roy hanya dalam taraf
main-main.

Sampai hari ini Senjoyo masih dijadikan tempat kungkum. Menurut Mbah
Jasmin (77), juru kunci Senjoyo, orang datang berendam pada hari-hari
tertentu seperti malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Juga pada saat
bulan purnama atau pada tanggal 15 dalam penanggalan Jawa. Puncak
perkungkuman terjadi pada malam satu Suro. Ada riwayatnya mengapa
Senjoyo menjadi tempat kungkum. Konon, menurut legenda, Mas Karebet
atau Joko Tingkir pernah bertapa kungkum di Senjoyo. Kelak di kemudian
hari, Joko Tingkir berkedudukan sebagai penguasa Kesultanan Pajang
dengan gelar Sultan Hadiwijoyo.

"Rumiyin, sak derengipun nyuwita ing Demak, Mas Karebet kungkum ing
mriki (Senjoyo), ndadar kanuragan-Dulu sebelum mengabdi di
(Kesultanan) Demak, Mas Karebet merendam diri di sini untuk berolah
kesaktian," tutur Mbah Jasmin yang ditemui Kompas di tepi sendang.
Legenda Senjoyo dengan Mas Karebet-nya itu masih populer di tengah
masyarakat Salatiga sampai saat ini. Maryono, wong Salatiga "senior",
punya tambahan legenda. Konon, katanya, air sendang yang biasanya
tenang tiba-tiba menyembur deras. Jika dibiarkan, bisa terjadi banjir.

"Bujangan dari Desa Tingkir itu cepat memotong rambutnya untuk
menyumbat mata air yang menggila. Boleh jadi rambut Joko Tingkir
gondrong mirip rambut Robert Plant," seloroh Maryono yang membayangkan
rambut Joko Tingkir seperti rambut vokalis grup rock Inggris, Led
Zeppelin.

Konon rambut gondrong Joko Tingkir menjadi penyaring mata air sendang
hingga air mengucur bening sampai hari ini. Itu cerita rakyat tentang
Senjoyo. Secara administratif, Senjoyo masuk wilayah Desa Tegalwaton,
Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tapi secara
geografis lebih dekat dengan Kota Salatiga, yaitu sekitar lima
kilometer ke arah timur kota.

Indah
Folklor, cerita rakyat, adalah dokumen hidup pada masyarakat dengan
budaya lisan. Cerita tentang Senjoyo menjadi indikator bahwa sendang
itu hidup di kalangan rakyat. Nyatanya, Senjoyo sampai hari ini
menghidupi warga sekitar Salatiga dengan ruahan air bening. Senjoyo
mengingatkan pada sendang di negeri dongeng. Sendang dikitari pepohonan
rindang. Sekitar sendang dilingkungi hutan kecil seluas sekitar lima
hektar. Di tepi sendang tegak berdiri pohon pule, suren, preh, doyo,
dan beringin. Sulur-sulur daun pohon tua itu menjuntai seperti hendak
meraih air sendang. Air begitu bening hingga batu dan kerikil di dasar
sendang terlihat jelas. Limpahan air disalurkan ke sungai-sungai.

Gemercik air terdengar dari puluhan mata air di dasar sendang yang tak
henti mengalir. Terdengar pula kicau burung kutilang. Suatu sore di
bulan Oktober lalu sinar matahari menembus rimbun daun di tepi sendang.
Berkas-berkas sinar membentuk garis-garis miring menembus dasar
sendang. "Tempatnya indah, enak untuk pacaran," kata Roy Marten.

"Tapi ada mitos, jangan bawa pacar ke Senjoyo. Bisa putus. Ceweknya
bisa tertarik pada Joko Tingkir, he-he-he!" seloroh Roy Marten yang
tinggal di Gilingrejo, Kelurahan Gendongan, Salatiga. Senjoyo menjadi
hiburan keluarga dari masa ke masa. Pasangan Amir (35) dan Eli (30)
dari Desa Sukoharjo, Cebongan, sekitar dua kilometer dari Senjoyo,
sengaja berekreasi komplet ke Senjoyo. Anaknya yang berumur tiga tahun
dibiarkan ciblon, bermain air di sendang, sementara Amir dan istrinya
mencuci kain gorden dan seprai di sendang.

Di sendang, Amir yang berpenghidupan sebagai sopir truk itu secara tak
sengaja bertemu kawan lama. Mereka dulu di masa kecil sama-sama sering
mandi di sendang.

Rusak-ruwat
Kini Senjoyo berhadapan dengan perubahan zaman. Tengoklah dasar sendang
yang bening itu, maka tampaklah beragam bungkus sabun mandi, plastik
kemasan detergen, sachet sampo, bungkus makanan ringan, dan berjenis
sampah. Segala rupa limbah itu tampak jelas seperti kolase di dasar
sendang.

"Kami pernah membersihkan sampah dari dasar sendang. Dari areal yang
cuma seluas dua kali tiga meter saja kami dapat berkarung-karung
sampah. Kami bahkan menemukan bungkus Rinso tahun 1980-an," kata Rudi
Ardianto dari komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK), kelompok seniman
yang prihatin pada lingkungan di Salatiga.

Senjoyo tengah menghadapi realitas kehidupan urban. Sendang tak hanya
menjadi tempat orang mengambil air untuk kehidupan. Di sana orang juga
mencuci karpet, tikar, kain gorden, seprai, lengkap dengan detergen
yang berbusa-busa. Di musim panas, ketika di beberapa tempat di
Salatiga kesulitan air, berdatanganlah orang membawa truk berisi
beberapa tangki air. Senjoyo sejak dulu menghidupi warganya. Di sebuah
gardu pompa di sisi barat sendang tertera angka tahun pendirian pompa,
yaitu 1887.

Kini beberapa pihak memanfaatkan air sendang untuk kepentingan air
minum dan industri. Di sana tertancap pipa-pipa besi dari PDAM Pemkot
Salatiga, PDAM Kabupaten Semarang, serta sebuah instansi militer.
Selain itu ada pula perusahaan tekstil PT Damatex yang mengambil air
untuk keperluan industri.

Seiring dengan rusaknya daerah tangkapan air di sekitar Salatiga, debit
air Senjoyo pun menurun. Data dari PDAM Salatiga menyebut dari tahun ke
tahun debit air Senjoyo terus menurun. Menurut Darminta, Direktur PDAM
Salatiga, sekitar enam tahun lalu pada musim hujan elevasi air mencapai
140 sentimeter. Kini di musim kemarau ketinggian air berada pada angka
90 sentimeter.

Air memang masih melimpah di Senjoyo. Tapi, debitnya terus menurun dari
tahun ke tahun. Pertanyaan, sampai kapan sendang itu akan bermurah air?
Pertanyaan itulah yang mengusik seniman Salatiga untuk menjadikan
Senjoyo sebagai arena Festival Mata Air pada 4-5 November ini. Festival
itu menjadi semacam ruwatan, ritual ala seniman untuk mengajak
masyarakat menjaga sumber air yang akan menjadi penghidupan mereka hari
ini dan di masa datang.

"Senjoyo asat (kering), nggih kiamat," kata Mbah Jas yang dengan arif
membaca isyarat alam.

Frans Sartono & C Wahyu Haryo PS
Minggu, 05 November 2006
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar